Ditulis oleh Ganda Putra Marbun, S.H.
Tinjauan Kriminologis Terhadap Perbuatan Main Hakim Sendiri
Pendahuluan
Main
hakin sendiri merupakan suatu tindak pidana yaitu berbuat sewenang-wenang
terhadap orang-orang yang dianggap bersalah karena melakukan suatu kejahatan.
Orang yang melakukan suatu tindak pidana dinamakan penjahat (criminal)
merupakan objek kriminologi terutama dalam pembicaraan ini tentang etiologi
kriminal yang menganalisis sebab-sebab berbuat jahat. Main hakin sendiri terjadi
karena keretakan hubungan antara penjahat dan korban yang tidak segera
dipecahkan atau apabila telah dipecahkan dengan hasil yang dirasakan tidak adil
bagi korban atau keluarga korban sehingga tidak dapat mengembalikan hubungan
baik antara pembuat korban dan korban dan/atau keluarga korban. Karena korban
dan/atau korban merasa kepentingannya dan hak-haknya diinjak-injak bahkan
dihancurkan oleh pembuat korban maka korban kerkewajiban untuk mempertahankan
kepentingannya dan hak-haknya terhadap pebuat korban secara langsung. Korban
dan/atau keluarga korban atau masyarakat dalam mempertahankan kepentingan dan
hak-haknya untuk mengambil kembali harta benda miliknya dari pembuat korban
secara langsung dengan jalan kekerasan bahkan mungkin lebih kerasa dan lebih
kejam daripada cara yang digunakan oleh pembuat korban untuk mengambil hak
milik korban. Apabila terjadi demikian maka berarti terdapat pergeseran yang
semula merupakan korban berubah menjadi pembuat korban dan sebaliknya yang
semula pembuat korban menjadi korban. Bilamana terjadi siklus yang demikian
terus menerus maka anggota masyarakat selalu durinsung keresahan dan ketakutan.
Oleh karena itu perlu segera mendapat perhatian dan solusinya. Solusinya yang
dirasakan adil oleh anggota masyarakat yang bersangkutan.
B.
Permasalahan
Main
hakim sendiri merupakan pengejawantahan balas dendam yang turun temurun oleh
korban dan/atau keluarga korban kepada pembuat korban. Guna menghentikan balas
dendam yang turun temurun tersebut maka kepala kelompok/komune/masyarakat
sederhana yang anggota kelompoknya tersebut jahat mengumpulkan harta benda
milik anggota masyarakat untuk memperbaiki atau mengganti rugi kerusakan atau
penderitaan anggota kelompok masyarakat yang menjadi korban. Harta benda
sebagai ganti kerugian oleh masyarakat yang berbuat jahat disebut restitusi
digunakan untuk kepentingan korban dan/atau keluarganya serta untuk kepentingan
masyarakat atau kepala kelompok.
C.
Pembahasan
Dalam
perkembangan hukum pidana, selanjutnya restitusi seluruhnya digunakan untuk
kepentingan masyarakat sehingga korban dan/atau keluarga korban tidak mendapat
bagian sama sekali, karena terjadi perubahan pengertian kejahatan dari
pelanggaran melawan individu menjadi pelanggaran melawan negara. Perbuatan
tersebut sebagai awal perbedaan dan pemisahan antara kesalahan perdata (Tort)
dan kesalahan pidana. Kesalahan perdata adalah hubungan antar pribadi termasuk
hubungan antara kejahatan dan korbannya, sedangkan kesalahan pidana merupakan
hubungan antara perbuatan jahat dan perbuatannya hal tersebut dikemukakan oleh
Schafer.
Selanjutnya Schafer
menambahkan pendapatnya bahwa dengan pandangan yang berubah itu maka korban
kejahatan dikeluarkan dari pengertian hukum pidana. Karena hak korban untuk
balas dendam telah diambil alih oleh negara maka seharusnya negara memegang
teguh amanat yang dipercayakan kepada negara untuk membalas denda kepada
pembuat kejahatan. Negara dalam melaksanakan amanat masyarakat korban telah
diatur secara abstrak dan rinci dalam hukum pidana baik hukum pidana substansi
maupun hukum pidana formal dengan asumsi bahwa pembuat kejahatan dijatuhi
pidana setimpal dengan kesalahannya sehingga masyarakat korban merasakan
kepuasan atas dipidananya pembuat kejahatan. Misalnya Code Hammurabi yang
dianggap peraturan paling kuno telah mengatur restitusi antara lain berisi
suatu perintah kepada pembuat kejahatan membayar kembali kepada korban dan/atau
keluarga korban sebanyak tiga puluh kali lipat dari jumlah kerugian yang
diderita oleh korban. Hukum Musa kira-kira abad ke-13 Sebelum Masehi antara
lain mengatur tentang pencurian seerkor sapi jantan, pencurinya harus membayar
lima kali dari jumlah kerugian korban pencurian. Hukum Romawi Kuno pada
kira-kira abad ke-8 Sebelum Masehi antara lain mengatur tentang perampokan,
bahwa perampok harus membayar empat kali dari jumlah barang-barang yang
dirampok dari korban. Perkembangan selanjutnya untuk menghindari balas dendam
atau main hakim sendiri dengan formula “an eye for an eye and a tooth for a
tooth”
Kaitannya
dengan masalah restitusi Karmen berpandapat bahwa di dalam masyarakat terdapat
perbedaan kelas-kelas dengan tajam, oleh karena itu dapat dikatakan pelaksanaan
restitusi hanya menguntungkan kelas lebih atas. Apabila dalam suatu kasus
kejahatan pihak yang bersalah memiliki kekuasaan cukup maka untuk restitusi
dari pihak kelas sosial lebih rendah sulit berhasil tuntutannya sesuai dengan
haknya. Sebaliknya apabila yang bersalah kelas sosial lebih rendah daripada
korbannya maka tuntutan restitusinya dapat dilaksanakan sesuai dengan haknya.
Hal ini berarti restitsi berfungsi si kaya makin kaya dan si miskin main
miskin.
Menurut
pendapat Karmen bahwa akibat penyalahgunaan pembayaran restitusi tersebut maka
pada abad ke-12 terjadi perubahan besar dalam menangani perkara kejahatan yang berakibat
merugikan korban secara pribadi dan keluarganya. Perluasan kepentingan negara
terhadap perkara kejahatan di topang oleh kelahiran konsep “tidak berguna lagi
kejahatan dipertimbangkan sebagai kekejaman menyerang pribadi korban yang
seharusnya dibalas oleh kekejaman juga”. Kemudian melahirkan konsep “tuntutan
pidana denda guna memperbaiki keseimbangan masyarakat yang merupakan hak
negara”. Konsep selanjutnya “melakukan kejahatan berarti melawan negara”.
Konsekuensinya memberantas kejahatan menjadi kewajiban negara dan restitusi
dengan nama pidana denda menjadi hak negara, dan penjahat tidak wajib membayar
restitusi kepada korban .
Secara
teoritik, konsep hukum pidana baru yang ditopang oleh dasar pembedaan antara
hukum pidana dan hukum perdata mempunyai titik berat yang berbeda. Pembedaan
titik berat dimaksudkan antara lain:
Menurut
Voigt,
Mendasarkan pada Law of the
Twelve Tables memberdakan objek sanksinya yaitu perbuatan menyerang orang
merupakan hukum pidana, sedang perbuatan menyerang harta benda merupakan hukum
perdata.
Menurut
Kohler dan Ziebart,
Menegaskan bahwa hukum pidana
berarti pembuat harus memberikan perbaikan kepada korban juga memberikan
pembayaran uang kepada negara (Schafer).
Menurut
Mommsen,
Segala sesuatu yang ditentukan
oleh negara merupakan hukum pidana dan secara moral wajib ditaati. Sanksi
bersifat pembalasan merupakan hukum pidna dan sanksi bersifat perbaikan
merupakan hukum perdata.
Pakar
hukum pidana menganut teori klasik yaitu perbuatan jahat melawan negara
merupakan hukum pidana, sedangkan tort adalah perlawanan terhadap hak-hak
perseorangan merupakan hukum perdata. Sejalan dengan itu Schafer mengemukakan
bahwa yang dimaksud kejahatan hanyalah perbuatan dan penjahatnya, tidak
termasuk korbannya, karena hubungan antara korban dan kejahatan termasuk
penjahatnya lebih bersifat perdata daripada pidana.
Masing-masing
bidang hukum tumbuh berkembang sendiri mengenai peraturannya, adminitrasi
peradilannya. Misalnya dalam hukum pidana ukuran pembuktian dibutuhkan lebih
tinggi, karena itu berlaku adigum “suatu kesalahan pembuat kejahatan yang
diragukan harus ditolak”. Kepentingan umum lebih diutamakan daripada
kepentingan finansial perseorangan. Oleh karena itu apabila ternyata korban
menderita suatu kerugian finansial perbuatan pidananya selesai. Dalam
praktiknya tuntutan ganti rugi korban dalam proses hukum perdata selalu ditolak
sehingga korban dan/atau keluarganya tidak pernah mendapat restitusi. Oleh
karena itu korban dan keluarganya harus puas atas perbuatan kejahatan telah dijatuhi
pidana oleh negara.
Perkembangan
dan kemajuan kriminologi pada pertengahan abad keduapuluh dalam kepustakaan
viktimologi ketidakseimbangan perlakuan terhadap pembuat kejahatan dan
korbannya tidak sejalan dengan pandangan baru bahwa keadilan menghendaki
keseimbangan perhatian dan perlakuan terhadap masnusia apapun status mereka
dalam masyarakat yang beradab. Status manusia dalam hukum pidana baik sebagai
pembuat kejahatan maupun sebagai korbannya tertutama mengenai hak dan kewajiban
mereka masing-masing harus seimbang. Dalam hal ini Reiff menyarankan agar
restitusi yang telah diambil alih oleh negara, wajar dikembalikan demi
memuaskan rasa balas dendam korban.
Perubahan
dan perkembangan pandangan masyarakat terhadap perhatian dan perlakuan kepada
pembuat kejahatan dan kepada para korbannya pada awalnya muncul atas pengaruh
kriminologi hubungan yang menyatakan bahwa kejahatan merupakan hasil interaksi
antara pembuat dan korban, hal tersebut dikemukakan oleh Separovic. Para pakar
kriminologi, penologi dan viktimologi seharusnya memberikan perhatian dan
perlakuan kepada pembuat kejahatan dan korbannya dengan seimbang baik mengenai
hak maupun kewajiban agar dapat mencerminkan rasa tanggung jawab atas peran
sertanya dalam terjadinya kejahatan.
Menurut
Iswanto hak dan kewajiban pembuat kejahatan dan korban memang berbeda, bahkan
bertentangan. Salah satu pemecahan teoritik yaitu mengintegrasikan aspek
kriminologi, aspek penologi dan aspek viktimologi. Pendapat Reiff menyatakan
bahwa hukum pidana modern pada pertengahan kedua abad keduapuluh yang baru lalu
bahwa asas pemidanaan harus menghilangkan sifat pembalasan, dan sebaliknya
justru berkewajiban mempersiapkan pembuat kejahatan agar dapat menjadi warga
masyarakat yang baik. Berbeda bagi korban kejahatan mengharapkan agar pidana
bermanfaat langsung, mengembalikan dirinya seperti dalam kondisi sebelum
menjadi korban. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa para kriminolog dan
viktimolog menghendaki agar suatu kejahatan dipertimbangkan dari aspek pembuat
kejahatan dan aspek korban dengan seimbang. Apabila hukum pidana mengintroduksi
pendapat tersebut maka masalah pokok hukum pidana terdiri atas perbuatan
melawan hukum, pertanggungjawaban dalam hukum pidana, dan korban. Jadi hukum
pidana bukan criminal-oriented, tetapi seharusnya criminal- victim oriented,
sehingga hukum pidana mengkaji obyeknya dengan tepat, lengkap, dan kejahatan
dapat dijelaskan lebih baik serta sesuai dengan realitas. Bilamana maksud ini
memperoleh tanggapan baik dari pakar hukum pidana, maka hukum pidana akan lebih
hidup dan segar atas jasa sumbangan perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan
di luar disiplin hukum khususnya kriminologi dan viktimologi sehingga hukum
pidana dirasakan adil oleh anggota masyarakat beradab.
Dikemukakan
oleh Soebagjo dan Supriatna, hukum pidana yang sekarang berlaku belum mengatur
secara seimbang antara pembuat kejahatan dan korban, sehingga mengakibatkan
ketidakpuasan keadilan bagi anggota masyarakat terutama yang menjadi korban dan
keluarganya, apabila dibiarkan dapat menggoncangkan masyarakat seperti yang
sedang kita alami bersama. Hukum pidana yang demikian itu tidak akan mencapai
perdamaian, kesejahteraan dan kebahagiaan.
D.
Penutup.
Sebagaimana
telah dikemukakan pada pendahuluan makalah ini bahwa “main hakim sendiri”
merupakan suatu tindak pidana yang dilakukan oleh korban kepada pembuat
kejahatan. Strategi dasar penanggulangan tindak pidana main hakim sendiri
adalah tidak berbeda dengan penanggulangan tindak pidana pada umumnya yaitu
meniadakan faktor-faktor penyebab atau kondisi yang menimbulkan terjadinya
kejahatan.
Dalam mengadapi tindakan main
hakim sendiri maka dapat disarankan pemecahan sebagai berikut :
Konsiliasi
antara elite-politik
Peningkatan kesadaran hukum
bagi aparat birokrasi pada semua lapisan birokrat baik pada Lembaga Tertinggi
maupun pada Lembaga Tinggi Negara-Lembaga Tinggi Negara termasuk para penegak
hukum.
Supremasi
hukum perlu segera dilaksanakan.
Hujatan dan penyudutan TNI
perlu dihentikan karena TNI sangat dibutuhkan untuk mempertahankan keamanan,
kedaulatan dan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Para Koruptor baik pada Era
Order Baru maupun pada era Reformasi diselesaikan sesuai dengan hukum yang
berlaku.
Usaha keluar dari krisis
ekonomi yang telah berjalan 3 tahun sehingga dapat menciptakan lapangan kerja,
mengurani pengangguran dan peningkatan standar hidup masyarakat.
Peningkatan kualitas sumber
daya manusia oleh karena itu pendidikan perlu mendpat prioritas.
Perlakuan yang sama kepada
semua warga negara Indonesia pada semua sektor kehidupan.
Demokratisasi, keterbukaan,
keadilan benar-benar dilaksanakan dengan konsekuen.
Hukum pidana hendaknya
berorientasi pada pembuat kejahatan-korban (Victim-criminal oriented)
DAFTAR
PUSTAKA
Iswanto, 1995, Restitusi
Kepada Korban Mati atau Luka Berat Sebagai Syarat Pidana Bersyarat pada Tindak
Pidana Lalu Lintas Jalan, sebuah disertasi di UGM.
Karmen, Andrew, 1984, Crime,
Victims An Introduction to Victimologi, Books/Cole Publishing Company Monterey,
California.
Reiff, Robert, 1979, The
Invisible Victim. The Criminal Justice Systems Forgotten Responsibility, Basic
Books Inc. Publishers, New York.
Schafer, Stephen, 1968, The
Victim and his Criminal a study in Functional Responsibility, in New York and
simultaneously in Toronto, Canada, by Random House of Canada Limited.
Separovic, Paul Zvonimer,
1985, Victimology studies of Victims, Publishers “Zagreb”, Samabor Novaki bb
Prauni Fakultet, Zagreb.
Soebagjo M, dan Slamet
Supriatna, 1987, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, Edisi Pertama, Penerbit Akademika
Pressindo CV., Jakarta.
United Nations, 1988, United
Nations Action in The Field of Human Rights, New York, ISBN 92-1-154067-7
Walklate, Sandra, 1989,
Victimology the Victim and Criminal Justice Process, First Published by the
Academic Division of Unwin Heyman Ltd., 15/17 Braad Wick Street, London W.
IV.IFPP. UK.
1 Iswanto, 2000. Kecenderungan
Masyarakat Main Hakim Sendiri (Ditinjau dari Aspek Kriminologi-Viktimologi).
Makalah disampaikan dalam Seminar Main Hakim Sendiri oleh Masyarakat. Diselenggarakan
atas Kerjasama UBSOED-POLWIL-PWI Perwakilan Banyumas. Purwokerto, 05 Agustus
2000. hal. 1sumber : http://kriminologihukum.blogspot.com
0 komentar:
Posting Komentar